Awal
Berdiri
Berbagai tekanan yang dilakukan penguasa untuk
mengkerdilkan PDI pimpinan Megawati tidak berhasil, sebaliknya
justru membangun militansi para pendukungnya yang kebanyakan berasal dari kelas
bawah, bahkan mengundang simpati masyarakat luas. Mereka melakukan perlawanan
simbolik dengan mendirikan posko-posko di sekitar tempat tinggal mereka, yang
umumnya berwarna merah. Ada yang dihias atau dilengkapi atribut partai, foto
Megawati, dan gambar Bung Karno, serta berbagai tulisan slogan.
Masyarakat secara sukarela juga menyumbangkan sebagian miliknya untuk
menunjukkan pembelaan kepada kubu Megawati.
Boleh jadi karena banyaknya gugatan hukum yang diajukan
kepada PDI versi Soerjadi dan reaksi masyarakat yang membela Megawati, akhirnya
pemerintah melunak dan mengakui keberadaan PDI Megawati. Pada 16 Juli 1997, Mendagri Syarwan Hamid menyatakan tidak keberatan dengan adanya
dua PDI. Menhankam Wiranto juga memperbolehkan
diadakannya peringatan "Peristiwa 27 Juli" di berbagai kota.
Runtuhnya bangunan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun memberi
peluang bagi PDI Megawati untuk membesarkan partai yang beraliran nasionalisme
kerakyatan ini. Yang selama Orde Baru didera berbagai masalah internal elite
partai dan intervensi pemerintah. Setelah Soeharto lengser dari kursi presiden pada tanggal 21 Mei 1998 tak lama kemudian Syarwan Hamid
selaku Mendagri membuka "kesempatan" kepada Megawati dan para
pendukungnya untuk mendirikan partai baru. Syarwan menyatakan hal itu
pada 28 Mei 1998 setelah terjadinya berbagai peristiwa
hilangnya aktivis demokrasi, termasuk kader PDI, Haryanto Taslam. Pemerintah Presiden B.J. Habibie sebagai
pengganti Soeharto secara resmi masih tetap mengakui keberadaan PDI di bawah
pimpinan Soerjadi. Pemerintah yang melalui Mendagri Syarwan Hamid hadir membuka
Kongres PDI pimpinan Soerjadi yang diadakan 25-27 Agustus 1998.
PDI pimpinan Megawati pun mengadakan kongres yang disebut
"Kongres Perjuangan" di Bali tanggal
8-10 Oktober 1998. Dalam kongres itu, Megawati kembali terpilih menjadi
Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 dan Alexander Litaay sebagai Sekretaris Jenderal. Kongres V
PDI mengamanatkan tiga hal: mengikuti pemilu, memenangkan pemilu, dan
menjadikan Ketua Umum DPP PDI sebagai Presiden RI. Agar bisa mengikuti Pemilu 1999, PDI pimpinan Megawati harus mengubah nama dan
lambang partai. Alasan pengubahan karena Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilu mensyaratkan peserta pemilu tidak boleh mempunyai nama atau
lambang yang sama.
Maka dalam perkembangan selanjutnya, serta didorong oleh
tuntutan situasi dan kondisi politik nasional "PDI pro Mega" akhirnya
membentuk partai baru yang secara historis merupakan kelanjutan tak terpisahkan
dari PDI yang didirikan berdasarkan fusi lima parpol pada 10 Januari 1973. PDI Megawati akhirnya mengubah nama
partainya menjadi PDI Perjuangan (PDI-P) dengan lambang berupa gambar banteng
bermata merah dan bermulut putih dalam lingkaran. Partai yang didirikan
pada 1 Februari 1999 ini berazaskan Pancasila, dan bercirikan Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan
Sosial. Perubahan nama dan lambang ini dideklarasikan di Stadion Utama Senayan
pada 14 Februari 1999,
yang dihadiri sekitar 200 ribu warga PDI dan simpatisan.
Sesuai dengan hasil keputusan Kongres V Partai Demokrasi
Indonesia di Denpasar, Bali maka secara mendasar
tidak banyak terjadi perubahan platform kecuali lebih konsisten pada
nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kerakyatan. Hasil Kongres Bali, yang
tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga baru juga mengamanatkan
PDI-P untuk memenangkan pemilu agar memiliki sarana mencapai tujuan umum partai
yaitu: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mendorong perdamaian dunia.
Setelah cukup lama "digembleng" oleh berbagai
masalah, keteguhan Megawati dan para pendukungnya untuk bertahan dan terus
berjuang mulai memasuki babak baru, menjadi peserta pemilu memasuki babak baru,
menjadi peserta pemilu dengan nama PDI Perjuangan dan berlambangkan kepala
banteng bermoncong putih, dan tetap mempertahankan warna dasar lambang partai
berwarna merah. Ikatan emosional antara sang pemimpin dan arus bawah yang
kebanyakan "wong cilik" serta simpati dari masyarakat yang sedang
merindukan perubahan menjadi modal utama untuk maju berlaga.
Di ujung perjuangan, atas dukungan sebagian besar rakyat
pemilih PDI Perjuangan meraih suara terbanyak dalam Pemilu 1999 yang diikuti 48
partai politik peserta pemilu. PDI Perjuangan secara dramatis mendulang
perolehan 33,76 persen suara atau 35.689.073 pemilih, serta dengan 153 kursi di
DPR atau 154 kursi dengan stembus accord(penghitungan kursi dengan
memperhitungkan penggabungan sisa suara). Menurut perkiraan sedikitnya 20 juta
konstituen di antara pemilih PDI Perjuangan adalah konstituen baru di luar
konstituen tradisional PDI. Sementara nasib tragis menimpa PDI Soerjadi yang
waktu itu dipimpin Budi Hardjono, yang hanya mampu meraih
345.720 pemilih atau sebesar 0,62 persen suara yang setara 2 kursi di DPR. Perolehan
PDI itu tidak dapat memenuhi batas minimal electoral threshold.
Kemenangan PDI Perjuangan meraih suara terbanyak di
lembaga legislatif tidak otomatis menjadikannya sebagai orang nomor satu di
republik. Sebab politik identik dengan persaingan yang berupaya untuk
menciptakan segala kemungkinan. Berbagai manuver politik dilakukan kelompok
politisi partai-partai Islam yang tergabung dalam kelompok
"Poros Tengah", yang dimotori oleh Amien Rais, Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Mereka memunculkan nama Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Saat Sidang
Umum MPR digelar September 1999, polarisasi antara kekuatan politik makin
mengeras. Hingga akhirnya melalui proses pemilihan yang dramatis Gus Dur
terpilih menjadi presiden dan didampingi Megawati sebagai wakil presiden, untuk
masa bakti 1999-2004.
Namun, belum lagi genap separuh waktu berkuasa, Gus Dur
yang dikenal sebagai pejuang pluralisme itu diturunkan dari jabatannya melalui
Sidang Istimewa MPR tahun 2001, atas alasan berbagai kebijakannya kerap
menimbulkan kontroversi, sehingga dapat mengganggu stabilitas politik nasional.
Puncak kebijakan kontroversial yang dikeluarkan Gus Dur adalah Dekrit Presiden,
yang salah satunya membubarkan lembaga MPR-DPR.
Pudarnya
Simpati Rakyat
Berkaca dari perjalanan partai sejak tahun 1973 hingga
sekarang, jajaran pimpinan PDI Perjuangan tampaknya sadar bahwa kemenangan
partai moncong putih dalam Pemilu 1999 lebih banyak disebebkan
faktor-faktor unpredicted. Simpati masyarakat yang tumbuh akibat
tekanan pemerintah yang terus menerus menindas PDI Perjuangan ternyata
mengundang berkah bagi kepopuleran PDI Perjuangan. Kejenuhan massa rakyat
terhadap sepak terjang rezim Soeharto yang otoriter, dan berkembangnya perilaku
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di antara kroni-kroninya yang mempercepat
proses pembusukan kekuasaannya, menemukan momentum dalam kepopuleran PDI
Perjuangan. Kiprah PDI Perjuangan sebagai partai yang memperjuangkan nasib
"wong cilik" saat Pemilu 1999 melengkapi daya tarik PDI Perjuangan.
Sosok Megawati, putri Bung Karno yang menjadi
pendiri PNI, berpengaruh besar pada dinamika perjalanan partai. Tentu
sudah menjadi takdir Megawati menjadi "anak biologis" sang
"Penyambung Lidah Rakyat", yang hingga kini masih memiliki banyak
pendukung setia (kelompok Soekarnois), sehingga kharisma ayahnya ikut melekat
dalam dirinya. Namun, keteguhannya dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi
memberi warna tersendiri bagi PDI Perjuangan. Berani melawan penguasa dan
menjanjikan perubahan. Maka dukungan dari segala lapisan dan kelompok
masyarakat mengalir untuk berjuang bersama mewujudkan perubahan secara
konstitusional, memenangkan PDI Perjuangan dalam Pemilu 1999.
Namun demikian, disadari benar oleh para pimpinan partai
bahwa tidaklah mungkin mendasarkan terus-menerus berbagai kondisi demikian
untuk kelangsungan kejayaan partai. Satu hal yang pasti, bahwa jika dahulu PDI
Perjuangan menjadi partai yang ditindas penguasa maka PDI Perjuangan saat ini
merupakan bagian dari penguasa dan kekuasaan itu sendiri. Sebagaimana
dinyatakan oleh Sophan Sophiaan sewaktu
berkomentar atas pengunduran dirinya dari DPR akhir Januari 2002, bahwa sulit mempertahankan citra partai
yang dulu dimiliki PDI Perjuangan saat memenangkan Pemilu 1999. Citra PDI
Perjuangan sebagai partai pembela "wong cilik" dan tertindas telah
banyak dicemari berbagai sepak terjang kadernya yang justru berlawanan.
Berbagai konflik internal terus terjadi, baik di tingkat
pusat maupun daerah, sehingga memperburuk citra partai. Dalam berbagai hasil
jajak pendapat di media massa terlihat bahwa citra PDI Perjuangan kian surut,
justru pada saat berkuasa. Di tingkat pusat pertentangan terjadi antara Sekjen
PDI Perjuangan Sutjipto dengan Haryanto Taslam. Sementara di tingkat daerah berbagai
keputusan recall atau pemecatan anggota DPRD yang dinilai
membangkang juga menimbulkan masalah baru yang berkepanjangan. Hal itu misalnya
terjadi sewaktu muncul gugatan 14 anggota DPRD Sumatera Selatan pada kasus pemilihan gubernur. Kasus
lain yang sempat menjadi berita adalah soal perkelahian dua anggota Fraksi PDI
Perjuangan di tengah rapat intern Komisi D DPRD Jawa Timur.
Penyakit kader PDI Perjuangan yang paling parah, menurut
Sophan Sophiaan adalah muncul dan bercokolnya mentalitas "era kekuatan
partai" (aji mumpung). Sebagian besar dari kader partai yang berhasil
duduk di lembaga legislatif negara kerap kali lupa tugas utamanya sebagai
bagian dari infrastruktur politik bangsa. Yang justru dikedepankan para kader
adalah ambisi pribadi untuk menumpuk uang dan kekuasaan. Sophan mengaku sudah
pernah berusaha menerapkan merit system, yaitu penunjukkan kader
berdasar prestasi, wawasan dan kemampuan. Namun kenyataannya ia mengaku tak
mampu membendung adanya "klik", pertemanan dan nepotisme yang memang
masih menjadi kultur partai-partai saat itu.
Tokoh PDI Perjuangan yang kemudian lepas dari kandang
banteng lantaran perbedaan visi dalam membangun partai adalah Dimyati Hartono dan Eros Djarot. Pada tanggal 31 Maret 2002 Dimyati yang juga guru besar hukum
dari Universitas Diponegoro Semarang kemudian mendirikan Partai Indonesia Tanah Air (PITA). Sedangkan Eros Djarot membentuk Partai Nasional
Banteng Kemerdekaan (PNBK) pada tanggal 6 Juni 2002 (yang kemudian berganti nama
menjadi Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia menjelang Pemilu 2009).
Berdasarkan pengalamannya menjadi pengurus partai,
Dimyati berkesimpulan bahwa fungsionaris PDI Perjuangan terdiri dari dua bagian
besar, yakni kelompok idealis dan kelompok non-idealis. Dalam kelompok idealis
itu terdapat dua kelompok lebih kecil, yakni mereka yang mempunyai kesetiaan
kepada orang (figur) dan kelompok yang kesetiaannya kepada cita-cita partai.
Sedangkan dalam kelompok non-idealis, setidak-tidaknya ada tiga kategori, yakni
mereka yang masuk ke PDI Perjuangan hanya sekadar mencari selamat, golongan
yang sekadar mencari keuntungan di partai, dan "kutu loncat". Dua
kelompok besar dalam PDI Perjuangan, yakni yang idealis dan non-idealis sering
tak sejalan. Namun, "anggota" kelompok yang lebih kecil pun sering
berbeda pendapat.
Setahun sebelumnya, pada Sidang I Majelis Permusyawaratan
Partai (MPP) PDI Perjuangan di Jakarta tanggal 12 Januari 2001, Megawati mengakui bahwa partai yang
dipimpinnya menghadapi kesulitan mendapatkan kader yang berkualitas. Hal itu
mengakibatkan disiplin organisasi belum berjalan seperti yang diharapkan,
kewibawaan partai di mata anggota juga masih lemah. Kemenangan PDI Perjuangan
dalam Pemilu 1999 tidak dengan sendirinya menyelesaikan semua persoalan dan
menghapus segala kesulitan. Sebaliknya justru menimbulkan dan mengembangkan
persoalan serta kesulitan baru.
Berbagai isu atau kasus yang muncul ketika Megawati
menjadi presiden juga menjadi catatan yang ikut mempengaruhi citra PDI
Perjuangan dan kesetiaan kader partai. Misalnya dalam kontroversi
pencalonan Sutiyoso, yang disebut-sebut terlibat
dalam Peristiwa 27 Juli, sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2002-2007 oleh
PDI Perjuangan. Atau pertentangan antara DPP PDI Perjuangan dengan DPD
Perjuangan dalam pencalonan gubernur di basis-basis massa PDI Perjuangan
seperti Jawa Tengah dan Bali.
Belum lagi sorotan publik atas berlarutnya penanganan kasus korupsi
"Buloggate" dan "Bruneigate". Begitu pula kontroversi
penjualan Indosat kepada investor asing oleh pemerintah. Hingga
munculnya kebijakan yang tidak populis, seperti kenaikan harga BBM dan listrik
yang mengundang reaksi masyarakat luas. Di kalangan arus bawah partai juga
berharap Megawati dan PDI Perjuangan serius menuntaskan pengusutan kasus
penyerbuan pada Peristiwa 27 Juli.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Megawati
dan Hamzah Haz--Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang
menjadi wakil presiden--dan masih lemahnya proses konsolidasi di tubuh PDI
Perjuangan berpengaruh terhadap perolehan suara dalam pemilu. Hal itu tampak
dengan melorotnya jumlah suara PDI-P dalam Pemilu Legislatif 2004. Jika dalam pemilu sebelumnya mampu
meraih suara sebesar 33,76 persen dan menempatkannya di urutan paling atas maka
kali ini posisi PDI Perjuangan berada di urutan kedua dengan memperoleh suara
sebesar 18,31 persen atau 20.710.006 suara pemilih setara 109 kursi DPR.
Sementara itu dalam Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden (Pilpres) 2004, yang merupakan pemilihan langsung
pertama kali, pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi gagal memenangkan pemilu. Pada putara kedua
pilpres pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang memenangkan persaingan dengan perbedaan
angka yang cukup mencolok. Pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi meraih 39,38
persen suara sedangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla mampu
mendulang hingga 60,62 suara.
Menjadi Partai Oposisi di
Era SBY
Kekalahan dalam Pemilu 2004 menjadi bahan refleksi dan otokritik partai
moncong putih. Dua bulan sebelum Kongres II PDI Perjuangan di Bali,
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan
sikap politik partainya untuk menjadi oposisi terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Megawati juga meminta para kader partainya untuk melakukan konsolidasi untuk
merebut kembali kemenangan dalam Pemilu 2009. Posisi PDI-P sebagai partai oposisi tersebut
ditegaskan kembali pada saat kongres.
Dinamika menjelang kongres terus bergerak. Kali ini dari
dua kader partai yang selama ini disebut masuk dalam bursa calon ketua umum,
yakni Arifin Panigoro dan Sophan Sophiaan, menyatakan mundur dari pencalonan itu. Sophan
dan Arifin menyatakan mengundurkan diri dalam rangka memuluskan regenerasi
kepemimpinan partai dan memberi jalan kepada calon lainnya, yaitu Guruh Soekarnoputra, Laksamana Sukardi, dan Kwik Kian Gie.
Dalam pidato pembukaannya Ketua Umum DPP PDI Perjuangan
Megawati Soekarnoputri mengakui sejumlah kekurangan partainya sehingga PDI
Perjuangan kalah di pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004. Menurut
putri Bung Karno itu, salah satu faktornya terutama PDI
Perjuangan tidak melaksanakan amanat kongres di Semarang untuk membawa PDI Perjuangan sebagai partai
modern yang memiliki roh kerakyatan. "Secara obyektif saya harus
sampaikan, kita belum mencapai fase sebagai partai modern yang ideal, tetapi
secara bertahap justru kehilangan wataknya sebagai partai kerakyatan,"
kata Megawati dalam pidatonya.
Kemudian bertolak dari hasil kongres, PDI Perjuangan
aktif berbenah diri melakukan konsolidasi, kaderisasi, pembenahan organisasi,
dan berjuang memenangkan kader-kadernya di daerah dalam pelaksanaan pemilihan
umum kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya. Strategi
ini lumayan jitu, setidaknya dari tahun 2005 hingga
pertengahan tahun 2010 dari 92 pemilihan umum kepala daerah yang diikuti
calon dari PDI Perjuangan, calon yang diusung PDI Perjuangan meraih suara
terbanyak di 43 pilkada. Dari jumlah itu, 24 pilkada di antaranya dimenangi
kader PDI Perjuangan sendiri.
Sayangnya upaya pembenahan di tubuh PDI Perjuangan belum
berjalan mulus. Strategi dalam menjalankan peran sebagai oposisi belum optimal.
Konflik internal dan lemahnya disiplin kader masih terus terjadi. Berdasarkan
penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi atas
kasus aliran dana Bank Indonesia ke
DPR, Agus Condro Prayitno yang menjadi anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan
mengaku mendapat uang Rp 500 juta seusai pemilihan deputi gubernur senior BI,
yang memilih Miranda Gultom. Kasus
korupsi aliran dana BI yang menjadi pemberitaan media terus menerus itu
akhirnya mengungkap pula keterlibatan tokoh elite PDI Perjuangan antara
lain Dudhie Makmun Murod, Emir Moeis,
dan belakangan Panda Nababan. Adapun kader PDI Perjuangan
lain, yaitu Max Moein juga
sempat menjadi sorotan publik selain juga terjerat kasus suap pemilihan deputi
senior BI juga di-recall PDI-P karena pelanggaran kode etik DPR terkait
perbuatan asusila. Kasus tersebut memperberat langkah partai mengembalikan
kepercayaan rakyat kepada PDI Perjuangan dan memenangkan Pemilu 2009.
Ketatnya konstelasi politik di tingkat nasional dan lokal
memupus harapan partai moncong putih untuk memenangkan Pemilu 2009. Setidaknya
ada 38 partai nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh berebut
suara pemilih. PDI Perjuangan terpaksa harus menerima kenyataan berada di
posisi ketiga di bawah Partai Demokrat dan Partai Golkar. Dibandingkan hasil PDI Perjuangan pada dua
pemilu sebelumnya, hasil Pemilu 2009 kali ini mengalami penurunan yang sangat
signifikan. Hanya mampu mendulang 14.576.388 suara atau sebesar 14,01 persen.
Konsekuensinya jumlah kursi PDI Perjuangan di legislatif juga berkurang menjadi
94 kursi. Begitu pula dalam Pilpres 2009, pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto hanya memperoleh suara 26,79 persen
(32.548.105 suara). Sementara pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono unggul lebih dari separuh jumlah suara yaitu
60,80 persen (121.504.481 suara).
Kekalahan dalam Pemilu 2004 dan 2009 sungguh sebuah
pengalaman berharga bagi PDI Perjuangan. Apalagi hasil perolehan suara dari
pemilu ke pemilu menurun drastis. Angka 14,01 persen pada Pemilu 2009 merupakan
suara pendukung setia PDI Perjuangan. Di tengah keterpurukan partai muncul
perbedaan pandangan apakah PDI Perjuangan akan melanjutkan beroposisi atau
berkoalisi masuk ke dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Megawati sendiri cenderung melanjutkan posisi
sebagai oposisi, sementara Taufik Kiemas dan sejumlah elite partai lainnya cenderung
mendorong berkoalisi.
Jelas bukan hal yang mudah bagi PDI Perjuangan khususnya
Megawati untuk mengambil keputusan. Kegamangan ini bukan yang pertama kali.
Godaan berkoalisi juga pernah datang pada tahun 2006, saat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono melakukan pergantian menteri atau reshuffle kabinet.
Partai berlambang moncong putih ini nyaris terseret masuk roda pemerintahan.
Kemudian pada awal bulan Mei 2009 tokoh Partai Amanat Nasional (PAN)
yang dikenal dekat dengan Presiden SBY, Hatta Rajasa berkunjung ke kediaman Megawati. Sebagaimana
yang disampaikan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Achmad Mubarok, maksud kedatangan Hatta Rajasa yang ketika itu
menjabat Menteri Sekretaris Negara, terkait keinginan SBY untuk menyatukan
semua pihak yang diyakini memiliki tujuan mulia yang sama. yang saat ini
tercerai-berai. Sejak awal Partai Demokrat menginginkan koalisi yang besar di
atas 50 persen untuk efektivitas pemerintahan. Namun karena oposisi sudah
dinyatakan sebagai sikap, akhirnya godaan itu pun mampu ditepis. Sejauh ini PDI
Perjuangan berusaha meyakinkan kepada anggotanya bahwa beroposisi sama
terhormatnya dengan menduduki pemerintahan. Oposisi yang dibangun PDI-P
menurut Sutradara Gintings bukanlah sikap asal beda atau like and dislike kepada
pemerintah. Prinsip oposisi PDI Perjuangan adalah keberpihakan kepada rakyat.
Secara konseptual prinsip-prinsip oposisi tersebut
dituangkan dalam Format Oposisi yang Dilaksanakan PDI Perjuangan 2005-2009,
yang didasarkan pada Keputusan Kongres II PDI Perjuangan No.11/2005 tentang
sikap dan kebijakan partai politik, khususnya yang menyatakan bahwa PDI-P
menjadi partai oposisi pada kurun waktu 2005-2009. PDI Perjuangan sungguh sadar
bahwa pilihan partai oposisi bukan pilihan populer karena selama ini oposisi
tidak mempunyai tempat yang layak dan terhormat dalam konsep dan praktek
politik di Indonesia, sehingga oposisi disalahartikan
sebagai pengganggu dan perongrong pemerintah, atau sikap "mutung" tak
bisa menerima kekalahan. PDI Perjuangan ingin meluruskan pandangan buruk
tentang oposisi dalam kehidupan berdemokrasi dan pendidikan politik yang sehat.
Oposisi dilakukan secara ideologis berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945,
yang dijabarkan menjadi ideologi kerja dalam menyikapi kinerja pemerintah dan
berpihak kepada "wong cilik" atau untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat. Pancasila dan kesejahteraan rakyat itulah yang menjadi
tolak ukur utama pelaksanaan oposisi PDI Perjuangan. Sikap kritis itu secara
nyata ditunjukkan PDI Perjuangan dalam membahas berbagai isu penting yang
menjadi sorotan masyarakat.
Bulatnya tekad partai berlambang moncong putih ini
kembali ditegaskan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dalam
pidato pembukaan Kongres III PDI-P di Bali tanggal
6-9 April 2010. Sekali lagi Megawati menegaskan tanpa
keraguan di hadapan para kader partai dan juga publik bahwa PDI Perjuangan tak
akan tergiur untuk berkoalisi dengan kekuasaan.
Garis ideologis yang berbeda antara PDI Perjuangan dan
partai-partai koalisi dalam pemerintahan memang seringkali tampak jelas terliha
pada saat terjadinya perbedaan cara pandang di parlemen dalam membahas berbagai
kasus atau kebijakan. Perbedaan cara pandang yang cukup tajam misalnya dalam
pembahasan Blok Cepu dan kebijakan kenaikan harga BBM. Partai banteng moncong
putih melihat dua kasus tersebut dalam perspektif nasionalis-kerakyatan,
berhadapan dengan pemerintah yang memandangnya dari perspektif
internasionalis-liberal.
Komentar
Posting Komentar