Langsung ke konten utama

PDI Perjuangan

Awal Berdiri
Berbagai tekanan yang dilakukan penguasa untuk mengkerdilkan PDI pimpinan Megawati tidak berhasil, sebaliknya justru membangun militansi para pendukungnya yang kebanyakan berasal dari kelas bawah, bahkan mengundang simpati masyarakat luas. Mereka melakukan perlawanan simbolik dengan mendirikan posko-posko di sekitar tempat tinggal mereka, yang umumnya berwarna merah. Ada yang dihias atau dilengkapi atribut partai, foto Megawati, dan gambar Bung Karno, serta berbagai tulisan slogan. Masyarakat secara sukarela juga menyumbangkan sebagian miliknya untuk menunjukkan pembelaan kepada kubu Megawati.
Boleh jadi karena banyaknya gugatan hukum yang diajukan kepada PDI versi Soerjadi dan reaksi masyarakat yang membela Megawati, akhirnya pemerintah melunak dan mengakui keberadaan PDI Megawati. Pada 16 Juli 1997, Mendagri Syarwan Hamid menyatakan tidak keberatan dengan adanya dua PDI. Menhankam Wiranto juga memperbolehkan diadakannya peringatan "Peristiwa 27 Juli" di berbagai kota.
Runtuhnya bangunan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun memberi peluang bagi PDI Megawati untuk membesarkan partai yang beraliran nasionalisme kerakyatan ini. Yang selama Orde Baru didera berbagai masalah internal elite partai dan intervensi pemerintah. Setelah Soeharto lengser dari kursi presiden pada tanggal 21 Mei 1998 tak lama kemudian Syarwan Hamid selaku Mendagri membuka "kesempatan" kepada Megawati dan para pendukungnya untuk mendirikan partai baru. Syarwan menyatakan hal itu pada 28 Mei 1998 setelah terjadinya berbagai peristiwa hilangnya aktivis demokrasi, termasuk kader PDI, Haryanto Taslam. Pemerintah Presiden B.J. Habibie sebagai pengganti Soeharto secara resmi masih tetap mengakui keberadaan PDI di bawah pimpinan Soerjadi. Pemerintah yang melalui Mendagri Syarwan Hamid hadir membuka Kongres PDI pimpinan Soerjadi yang diadakan 25-27 Agustus 1998.
PDI pimpinan Megawati pun mengadakan kongres yang disebut "Kongres Perjuangan" di Bali tanggal 8-10 Oktober 1998. Dalam kongres itu, Megawati kembali terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 dan Alexander Litaay sebagai Sekretaris Jenderal. Kongres V PDI mengamanatkan tiga hal: mengikuti pemilu, memenangkan pemilu, dan menjadikan Ketua Umum DPP PDI sebagai Presiden RI. Agar bisa mengikuti Pemilu 1999, PDI pimpinan Megawati harus mengubah nama dan lambang partai. Alasan pengubahan karena Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu mensyaratkan peserta pemilu tidak boleh mempunyai nama atau lambang yang sama.
Maka dalam perkembangan selanjutnya, serta didorong oleh tuntutan situasi dan kondisi politik nasional "PDI pro Mega" akhirnya membentuk partai baru yang secara historis merupakan kelanjutan tak terpisahkan dari PDI yang didirikan berdasarkan fusi lima parpol pada 10 Januari 1973. PDI Megawati akhirnya mengubah nama partainya menjadi PDI Perjuangan (PDI-P) dengan lambang berupa gambar banteng bermata merah dan bermulut putih dalam lingkaran. Partai yang didirikan pada 1 Februari 1999 ini berazaskan Pancasila, dan bercirikan Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Perubahan nama dan lambang ini dideklarasikan di Stadion Utama Senayan pada 14 Februari 1999, yang dihadiri sekitar 200 ribu warga PDI dan simpatisan.
Sesuai dengan hasil keputusan Kongres V Partai Demokrasi Indonesia di Denpasar, Bali maka secara mendasar tidak banyak terjadi perubahan platform kecuali lebih konsisten pada nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kerakyatan. Hasil Kongres Bali, yang tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga baru juga mengamanatkan PDI-P untuk memenangkan pemilu agar memiliki sarana mencapai tujuan umum partai yaitu: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendorong perdamaian dunia.
Setelah cukup lama "digembleng" oleh berbagai masalah, keteguhan Megawati dan para pendukungnya untuk bertahan dan terus berjuang mulai memasuki babak baru, menjadi peserta pemilu memasuki babak baru, menjadi peserta pemilu dengan nama PDI Perjuangan dan berlambangkan kepala banteng bermoncong putih, dan tetap mempertahankan warna dasar lambang partai berwarna merah. Ikatan emosional antara sang pemimpin dan arus bawah yang kebanyakan "wong cilik" serta simpati dari masyarakat yang sedang merindukan perubahan menjadi modal utama untuk maju berlaga.
Di ujung perjuangan, atas dukungan sebagian besar rakyat pemilih PDI Perjuangan meraih suara terbanyak dalam Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai politik peserta pemilu. PDI Perjuangan secara dramatis mendulang perolehan 33,76 persen suara atau 35.689.073 pemilih, serta dengan 153 kursi di DPR atau 154 kursi dengan stembus accord(penghitungan kursi dengan memperhitungkan penggabungan sisa suara). Menurut perkiraan sedikitnya 20 juta konstituen di antara pemilih PDI Perjuangan adalah konstituen baru di luar konstituen tradisional PDI. Sementara nasib tragis menimpa PDI Soerjadi yang waktu itu dipimpin Budi Hardjono, yang hanya mampu meraih 345.720 pemilih atau sebesar 0,62 persen suara yang setara 2 kursi di DPR. Perolehan PDI itu tidak dapat memenuhi batas minimal electoral threshold.
Kemenangan PDI Perjuangan meraih suara terbanyak di lembaga legislatif tidak otomatis menjadikannya sebagai orang nomor satu di republik. Sebab politik identik dengan persaingan yang berupaya untuk menciptakan segala kemungkinan. Berbagai manuver politik dilakukan kelompok politisi partai-partai Islam yang tergabung dalam kelompok "Poros Tengah", yang dimotori oleh Amien Rais, Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Mereka memunculkan nama Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Saat Sidang Umum MPR digelar September 1999, polarisasi antara kekuatan politik makin mengeras. Hingga akhirnya melalui proses pemilihan yang dramatis Gus Dur terpilih menjadi presiden dan didampingi Megawati sebagai wakil presiden, untuk masa bakti 1999-2004.
Namun, belum lagi genap separuh waktu berkuasa, Gus Dur yang dikenal sebagai pejuang pluralisme itu diturunkan dari jabatannya melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001, atas alasan berbagai kebijakannya kerap menimbulkan kontroversi, sehingga dapat mengganggu stabilitas politik nasional. Puncak kebijakan kontroversial yang dikeluarkan Gus Dur adalah Dekrit Presiden, yang salah satunya membubarkan lembaga MPR-DPR.
Pudarnya Simpati Rakyat
Berkaca dari perjalanan partai sejak tahun 1973 hingga sekarang, jajaran pimpinan PDI Perjuangan tampaknya sadar bahwa kemenangan partai moncong putih dalam Pemilu 1999 lebih banyak disebebkan faktor-faktor unpredicted. Simpati masyarakat yang tumbuh akibat tekanan pemerintah yang terus menerus menindas PDI Perjuangan ternyata mengundang berkah bagi kepopuleran PDI Perjuangan. Kejenuhan massa rakyat terhadap sepak terjang rezim Soeharto yang otoriter, dan berkembangnya perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di antara kroni-kroninya yang mempercepat proses pembusukan kekuasaannya, menemukan momentum dalam kepopuleran PDI Perjuangan. Kiprah PDI Perjuangan sebagai partai yang memperjuangkan nasib "wong cilik" saat Pemilu 1999 melengkapi daya tarik PDI Perjuangan.
Sosok Megawati, putri Bung Karno yang menjadi pendiri PNI, berpengaruh besar pada dinamika perjalanan partai. Tentu sudah menjadi takdir Megawati menjadi "anak biologis" sang "Penyambung Lidah Rakyat", yang hingga kini masih memiliki banyak pendukung setia (kelompok Soekarnois), sehingga kharisma ayahnya ikut melekat dalam dirinya. Namun, keteguhannya dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi memberi warna tersendiri bagi PDI Perjuangan. Berani melawan penguasa dan menjanjikan perubahan. Maka dukungan dari segala lapisan dan kelompok masyarakat mengalir untuk berjuang bersama mewujudkan perubahan secara konstitusional, memenangkan PDI Perjuangan dalam Pemilu 1999.
Namun demikian, disadari benar oleh para pimpinan partai bahwa tidaklah mungkin mendasarkan terus-menerus berbagai kondisi demikian untuk kelangsungan kejayaan partai. Satu hal yang pasti, bahwa jika dahulu PDI Perjuangan menjadi partai yang ditindas penguasa maka PDI Perjuangan saat ini merupakan bagian dari penguasa dan kekuasaan itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Sophan Sophiaan sewaktu berkomentar atas pengunduran dirinya dari DPR akhir Januari 2002, bahwa sulit mempertahankan citra partai yang dulu dimiliki PDI Perjuangan saat memenangkan Pemilu 1999. Citra PDI Perjuangan sebagai partai pembela "wong cilik" dan tertindas telah banyak dicemari berbagai sepak terjang kadernya yang justru berlawanan.
Berbagai konflik internal terus terjadi, baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga memperburuk citra partai. Dalam berbagai hasil jajak pendapat di media massa terlihat bahwa citra PDI Perjuangan kian surut, justru pada saat berkuasa. Di tingkat pusat pertentangan terjadi antara Sekjen PDI Perjuangan Sutjipto dengan Haryanto Taslam. Sementara di tingkat daerah berbagai keputusan recall atau pemecatan anggota DPRD yang dinilai membangkang juga menimbulkan masalah baru yang berkepanjangan. Hal itu misalnya terjadi sewaktu muncul gugatan 14 anggota DPRD Sumatera Selatan pada kasus pemilihan gubernur. Kasus lain yang sempat menjadi berita adalah soal perkelahian dua anggota Fraksi PDI Perjuangan di tengah rapat intern Komisi D DPRD Jawa Timur.
Penyakit kader PDI Perjuangan yang paling parah, menurut Sophan Sophiaan adalah muncul dan bercokolnya mentalitas "era kekuatan partai" (aji mumpung). Sebagian besar dari kader partai yang berhasil duduk di lembaga legislatif negara kerap kali lupa tugas utamanya sebagai bagian dari infrastruktur politik bangsa. Yang justru dikedepankan para kader adalah ambisi pribadi untuk menumpuk uang dan kekuasaan. Sophan mengaku sudah pernah berusaha menerapkan merit system, yaitu penunjukkan kader berdasar prestasi, wawasan dan kemampuan. Namun kenyataannya ia mengaku tak mampu membendung adanya "klik", pertemanan dan nepotisme yang memang masih menjadi kultur partai-partai saat itu.
Tokoh PDI Perjuangan yang kemudian lepas dari kandang banteng lantaran perbedaan visi dalam membangun partai adalah Dimyati Hartono dan Eros Djarot. Pada tanggal 31 Maret 2002 Dimyati yang juga guru besar hukum dari Universitas Diponegoro Semarang kemudian mendirikan Partai Indonesia Tanah Air (PITA). Sedangkan Eros Djarot membentuk Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) pada tanggal 6 Juni 2002 (yang kemudian berganti nama menjadi Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia menjelang Pemilu 2009).
Berdasarkan pengalamannya menjadi pengurus partai, Dimyati berkesimpulan bahwa fungsionaris PDI Perjuangan terdiri dari dua bagian besar, yakni kelompok idealis dan kelompok non-idealis. Dalam kelompok idealis itu terdapat dua kelompok lebih kecil, yakni mereka yang mempunyai kesetiaan kepada orang (figur) dan kelompok yang kesetiaannya kepada cita-cita partai. Sedangkan dalam kelompok non-idealis, setidak-tidaknya ada tiga kategori, yakni mereka yang masuk ke PDI Perjuangan hanya sekadar mencari selamat, golongan yang sekadar mencari keuntungan di partai, dan "kutu loncat". Dua kelompok besar dalam PDI Perjuangan, yakni yang idealis dan non-idealis sering tak sejalan. Namun, "anggota" kelompok yang lebih kecil pun sering berbeda pendapat.
Setahun sebelumnya, pada Sidang I Majelis Permusyawaratan Partai (MPP) PDI Perjuangan di Jakarta tanggal 12 Januari 2001, Megawati mengakui bahwa partai yang dipimpinnya menghadapi kesulitan mendapatkan kader yang berkualitas. Hal itu mengakibatkan disiplin organisasi belum berjalan seperti yang diharapkan, kewibawaan partai di mata anggota juga masih lemah. Kemenangan PDI Perjuangan dalam Pemilu 1999 tidak dengan sendirinya menyelesaikan semua persoalan dan menghapus segala kesulitan. Sebaliknya justru menimbulkan dan mengembangkan persoalan serta kesulitan baru.
Berbagai isu atau kasus yang muncul ketika Megawati menjadi presiden juga menjadi catatan yang ikut mempengaruhi citra PDI Perjuangan dan kesetiaan kader partai. Misalnya dalam kontroversi pencalonan Sutiyoso, yang disebut-sebut terlibat dalam Peristiwa 27 Juli, sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2002-2007 oleh PDI Perjuangan. Atau pertentangan antara DPP PDI Perjuangan dengan DPD Perjuangan dalam pencalonan gubernur di basis-basis massa PDI Perjuangan seperti Jawa Tengah dan Bali. Belum lagi sorotan publik atas berlarutnya penanganan kasus korupsi "Buloggate" dan "Bruneigate". Begitu pula kontroversi penjualan Indosat kepada investor asing oleh pemerintah. Hingga munculnya kebijakan yang tidak populis, seperti kenaikan harga BBM dan listrik yang mengundang reaksi masyarakat luas. Di kalangan arus bawah partai juga berharap Megawati dan PDI Perjuangan serius menuntaskan pengusutan kasus penyerbuan pada Peristiwa 27 Juli.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Megawati dan Hamzah Haz--Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang menjadi wakil presiden--dan masih lemahnya proses konsolidasi di tubuh PDI Perjuangan berpengaruh terhadap perolehan suara dalam pemilu. Hal itu tampak dengan melorotnya jumlah suara PDI-P dalam Pemilu Legislatif 2004. Jika dalam pemilu sebelumnya mampu meraih suara sebesar 33,76 persen dan menempatkannya di urutan paling atas maka kali ini posisi PDI Perjuangan berada di urutan kedua dengan memperoleh suara sebesar 18,31 persen atau 20.710.006 suara pemilih setara 109 kursi DPR.
Sementara itu dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2004, yang merupakan pemilihan langsung pertama kali, pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi gagal memenangkan pemilu. Pada putara kedua pilpres pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang memenangkan persaingan dengan perbedaan angka yang cukup mencolok. Pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi meraih 39,38 persen suara sedangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla mampu mendulang hingga 60,62 suara.
Menjadi Partai Oposisi di Era SBY
Kekalahan dalam Pemilu 2004 menjadi bahan refleksi dan otokritik partai moncong putih. Dua bulan sebelum Kongres II PDI Perjuangan di Bali, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan sikap politik partainya untuk menjadi oposisi terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Megawati juga meminta para kader partainya untuk melakukan konsolidasi untuk merebut kembali kemenangan dalam Pemilu 2009. Posisi PDI-P sebagai partai oposisi tersebut ditegaskan kembali pada saat kongres.
Dinamika menjelang kongres terus bergerak. Kali ini dari dua kader partai yang selama ini disebut masuk dalam bursa calon ketua umum, yakni Arifin Panigoro dan Sophan Sophiaan, menyatakan mundur dari pencalonan itu. Sophan dan Arifin menyatakan mengundurkan diri dalam rangka memuluskan regenerasi kepemimpinan partai dan memberi jalan kepada calon lainnya, yaitu Guruh Soekarnoputra, Laksamana Sukardi, dan Kwik Kian Gie. 
Dalam pidato pembukaannya Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengakui sejumlah kekurangan partainya sehingga PDI Perjuangan kalah di pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004. Menurut putri Bung Karno itu, salah satu faktornya terutama PDI Perjuangan tidak melaksanakan amanat kongres di Semarang untuk membawa PDI Perjuangan sebagai partai modern yang memiliki roh kerakyatan. "Secara obyektif saya harus sampaikan, kita belum mencapai fase sebagai partai modern yang ideal, tetapi secara bertahap justru kehilangan wataknya sebagai partai kerakyatan," kata Megawati dalam pidatonya.
Kemudian bertolak dari hasil kongres, PDI Perjuangan aktif berbenah diri melakukan konsolidasi, kaderisasi, pembenahan organisasi, dan berjuang memenangkan kader-kadernya di daerah dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya. Strategi ini lumayan jitu, setidaknya dari tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2010 dari 92 pemilihan umum kepala daerah yang diikuti calon dari PDI Perjuangan, calon yang diusung PDI Perjuangan meraih suara terbanyak di 43 pilkada. Dari jumlah itu, 24 pilkada di antaranya dimenangi kader PDI Perjuangan sendiri.
Sayangnya upaya pembenahan di tubuh PDI Perjuangan belum berjalan mulus. Strategi dalam menjalankan peran sebagai oposisi belum optimal. Konflik internal dan lemahnya disiplin kader masih terus terjadi. Berdasarkan penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi atas kasus aliran dana Bank Indonesia ke DPR, Agus Condro Prayitno yang menjadi anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan mengaku mendapat uang Rp 500 juta seusai pemilihan deputi gubernur senior BI, yang memilih Miranda Gultom. Kasus korupsi aliran dana BI yang menjadi pemberitaan media terus menerus itu akhirnya mengungkap pula keterlibatan tokoh elite PDI Perjuangan antara lain Dudhie Makmun Murod, Emir Moeis, dan belakangan Panda Nababan. Adapun kader PDI Perjuangan lain, yaitu Max Moein juga sempat menjadi sorotan publik selain juga terjerat kasus suap pemilihan deputi senior BI juga di-recall PDI-P karena pelanggaran kode etik DPR terkait perbuatan asusila. Kasus tersebut memperberat langkah partai mengembalikan kepercayaan rakyat kepada PDI Perjuangan dan memenangkan Pemilu 2009.
Ketatnya konstelasi politik di tingkat nasional dan lokal memupus harapan partai moncong putih untuk memenangkan Pemilu 2009. Setidaknya ada 38 partai nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh berebut suara pemilih. PDI Perjuangan terpaksa harus menerima kenyataan berada di posisi ketiga di bawah Partai Demokrat dan Partai Golkar. Dibandingkan hasil PDI Perjuangan pada dua pemilu sebelumnya, hasil Pemilu 2009 kali ini mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hanya mampu mendulang 14.576.388 suara atau sebesar 14,01 persen. Konsekuensinya jumlah kursi PDI Perjuangan di legislatif juga berkurang menjadi 94 kursi. Begitu pula dalam Pilpres 2009, pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto hanya memperoleh suara 26,79 persen (32.548.105 suara). Sementara pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono unggul lebih dari separuh jumlah suara yaitu 60,80 persen (121.504.481 suara).
Kekalahan dalam Pemilu 2004 dan 2009 sungguh sebuah pengalaman berharga bagi PDI Perjuangan. Apalagi hasil perolehan suara dari pemilu ke pemilu menurun drastis. Angka 14,01 persen pada Pemilu 2009 merupakan suara pendukung setia PDI Perjuangan. Di tengah keterpurukan partai muncul perbedaan pandangan apakah PDI Perjuangan akan melanjutkan beroposisi atau berkoalisi masuk ke dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Megawati sendiri cenderung melanjutkan posisi sebagai oposisi, sementara Taufik Kiemas dan sejumlah elite partai lainnya cenderung mendorong berkoalisi.
Jelas bukan hal yang mudah bagi PDI Perjuangan khususnya Megawati untuk mengambil keputusan. Kegamangan ini bukan yang pertama kali. Godaan berkoalisi juga pernah datang pada tahun 2006, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan pergantian menteri atau reshuffle kabinet. Partai berlambang moncong putih ini nyaris terseret masuk roda pemerintahan. Kemudian pada awal bulan Mei 2009 tokoh Partai Amanat Nasional (PAN) yang dikenal dekat dengan Presiden SBY, Hatta Rajasa berkunjung ke kediaman Megawati. Sebagaimana yang disampaikan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Achmad Mubarok, maksud kedatangan Hatta Rajasa yang ketika itu menjabat Menteri Sekretaris Negara, terkait keinginan SBY untuk menyatukan semua pihak yang diyakini memiliki tujuan mulia yang sama. yang saat ini tercerai-berai. Sejak awal Partai Demokrat menginginkan koalisi yang besar di atas 50 persen untuk efektivitas pemerintahan. Namun karena oposisi sudah dinyatakan sebagai sikap, akhirnya godaan itu pun mampu ditepis. Sejauh ini PDI Perjuangan berusaha meyakinkan kepada anggotanya bahwa beroposisi sama terhormatnya dengan menduduki pemerintahan. Oposisi yang dibangun PDI-P menurut Sutradara Gintings bukanlah sikap asal beda atau like and dislike kepada pemerintah. Prinsip oposisi PDI Perjuangan adalah keberpihakan kepada rakyat.
Secara konseptual prinsip-prinsip oposisi tersebut dituangkan dalam Format Oposisi yang Dilaksanakan PDI Perjuangan 2005-2009, yang didasarkan pada Keputusan Kongres II PDI Perjuangan No.11/2005 tentang sikap dan kebijakan partai politik, khususnya yang menyatakan bahwa PDI-P menjadi partai oposisi pada kurun waktu 2005-2009. PDI Perjuangan sungguh sadar bahwa pilihan partai oposisi bukan pilihan populer karena selama ini oposisi tidak mempunyai tempat yang layak dan terhormat dalam konsep dan praktek politik di Indonesia, sehingga oposisi disalahartikan sebagai pengganggu dan perongrong pemerintah, atau sikap "mutung" tak bisa menerima kekalahan. PDI Perjuangan ingin meluruskan pandangan buruk tentang oposisi dalam kehidupan berdemokrasi dan pendidikan politik yang sehat. Oposisi dilakukan secara ideologis berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945, yang dijabarkan menjadi ideologi kerja dalam menyikapi kinerja pemerintah dan berpihak kepada "wong cilik" atau untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Pancasila dan kesejahteraan rakyat itulah yang menjadi tolak ukur utama pelaksanaan oposisi PDI Perjuangan. Sikap kritis itu secara nyata ditunjukkan PDI Perjuangan dalam membahas berbagai isu penting yang menjadi sorotan masyarakat.
Bulatnya tekad partai berlambang moncong putih ini kembali ditegaskan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dalam pidato pembukaan Kongres III PDI-P di Bali tanggal 6-9 April 2010. Sekali lagi Megawati menegaskan tanpa keraguan di hadapan para kader partai dan juga publik bahwa PDI Perjuangan tak akan tergiur untuk berkoalisi dengan kekuasaan.
Garis ideologis yang berbeda antara PDI Perjuangan dan partai-partai koalisi dalam pemerintahan memang seringkali tampak jelas terliha pada saat terjadinya perbedaan cara pandang di parlemen dalam membahas berbagai kasus atau kebijakan. Perbedaan cara pandang yang cukup tajam misalnya dalam pembahasan Blok Cepu dan kebijakan kenaikan harga BBM. Partai banteng moncong putih melihat dua kasus tersebut dalam perspektif nasionalis-kerakyatan, berhadapan dengan pemerintah yang memandangnya dari perspektif internasionalis-liberal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedudukan Warga Negara dan Penduduk Indonesia

A . STATUS WARGA NEGARA INDONESIA Rakyat sebuah negara dibedakan menjadi 2 yaitu :    1. Penduduk dan bukan penduduk   2. Warga negara dan bukan warga negara        Perbedaan antara penduduk dan warga negara         Penduduk adalah orang yang bertempat tinggal atau menetap dalam suatu negara sedangkan warga negara adalah orang yang secara hukum merupakan anggota suatu negara. PASAL 26 UUD 1945 menjelaskan bahwa : 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara. Maksudnya adalah warga  negara Indonesia tidak semua orang-orang pribumi melainkan warga bangsa lain yang sudah disahkan secara Undang-Undang. 2. Penduduk ialah WNI dan orang asing yang bertempat  tinggal di Indonesia.            3.Hal-hal mengenai warga negara dan ...

MAJAS

Majas adalah bahasa yang bergaya memiliki makna yang bersifat konotatif. Perpaduan kosakata muncul dan memakai perlambang-lambang dengan hasil pembagian. Contoh majas dan jenis majas yang produktif : 1. Majas Metafora : perbandingan kata tanpa pembanding Contoh kalimat : a). Telinga memerah mendengar sindiran Bu Maria. b). Dia dikenal sebagai bunga desa . c). Rumah itu habis dilalap si jago merah . 2. Majas Simile : perbandingan dengan kata pembanding. Contoh kalimat : a). Wajah keduanya bagai pinang di belah dua. b). Senyumannya se cerah mentari pagi. 3. Majas Personifikasi : memakaikan kelakuan manusia pada non manusia. Contoh kalimat : a). Nyiur melambai di tepi pantai. b). Jantungku melompat saat bertemu dia.  c). Rumah itu habis dilalap si jago merah. 4. Majas Hiperbola : berlebihan sampai menyalahi logika. Contoh kalimat : a). Jantungku copot karena teriakannya yang keras. b). Setelah berlari sepuluh kali lapangan olahrag...

JENIS-JENIS PENDAPAT AKUNTAN

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik per 31 Maret 2011 (PSA 29 SA Seksi 508), ada lima jenis pendapat akuntan, yaitu: 1.     Pendapat wajar tanpa pengecualian ( Unqualified opinion ) 2.     Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku ( Unqualified opinion with explanatory language ) 3.     Pendapat wajar dengan pengecualian ( Qualified opinion ) 4.     Pendapat tidak wajar ( Adverse opinion ) 5.     Pernyataan tidak memberikan pendapat ( Disclaimer opinion ) 1.1    Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian Jika auditor telah melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar auditing yang ditentukan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, seperti yang terdapat dalam standar professional akuntan publik, dan telah mengumpulkan bahan-bahan pembuktian ( audit evidence ) yang cukup untuk mendukung opininya, serta tidak menemukan adanya kesalah...